Membahas Tentang Seputar Ilmu Agama Islam

Tak Selalu Harus Mengenakan Mukena Saat Shalat

Sajadah Muslim ~ Tradisi muslimah Indonesia yang mengenakan mukena ketika shalat, kerap diasumsikan sebagai ‘kewajiban’ dari cara beribadahnya. Padahal cara pandangan demikian sebuah kekeliruan. Hal ini karena memang tidak ada dasar hukum baku yang menegaskan hal ihwal tersebut. Bahkan dari tinjauan sejarah pun agak sulit mengurai asal muasal keberadaannya.


Dari masa ke masa, mukena mengalami perubahan penampilan. Ini tak bisa dielak lantaran mukena pun menjadi satu lahan dunia fashion yang kerap gonta-ganti mode, namun perubahan itu tak pelak menuai perbincangan disana-sini, khususnya para pembaca Hidayah yang kerapkali menanyakannya. Apakah dibolehkan? Apakah hanya mukena yang wajib digunakan wanita muslimah saat shalat  dan tidak ada yang lain? Atau, bagaimana sebenarnya pakaian wanita muslimah saat shalat dalam teropong fiqih Islam ?

Baju Kurung dan Kerudung

Bagi seorang muslimah, menutup aurat merupakan tata cara yang harus dipatuhi ketika mereka hendak menunaikan shalat. Jika tidak diindahkan, tentu shalat mereka akan batal, sebab bagian-bagian tertentu anggota tubuhnya tidak dibolehkan tampak saat shalat.

Jumhur ulama menyatakan bahwa anggota tubuh wanita muslimah dinyatakan aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, meskipun ada segelintir kalangan ulama yang tidak sepakat dengan pandangan ini. Sudut pandang ini pula yang kemudian mencuatkan pemikiran banyak pihak bahwa pakaian shalat wanita muslimah harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya.

Akan tetapi, dari pandangan tersebut pula lahir pemahaman bahwa pakaian shalat wanita muslimah tidak harus berbentuk mukena. Apapun modelnya, sepanjang menutup aurat dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh mereka, yang dianggap pakaian shalatnya.

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Fiqih Wanita, menyatakan bahwa  wanita muslimah disunnahkan mengenakan baju kurung dan kerudung saat melaksanakan shalat. Ia mendasarkan pandangannya pada sebuah riwayat dari Umar bin Khattab dan putranya, Abdullah bin Umar serta Aisyah. Imam Asy-Syafi’i juga berpendapat, wanita muslimah harus menutup auratnya secara baik dan benar pada saat ruku’atau sujud tidak memperlihatkan bentuk tubuh dan pinggulmnya, serta bagian-bagian aurat yang sensitif.

Dalam riwayat lain, dari Aisyah, disebutkan bahwa istri Rasulullah itupun pernah mengerjakan shalat dengan mengenakan empat lapis pakaian. Yang demikian itu merupakan amalan yang disunatkan dan jika di luar kemampuannya ada bagian yang terbuka, maka diberikan maaf baginya.

Imam Ahmad mengatakan, “Secara umum para ulama bersepakat tentang baju kurung dan kerudung ini. Sedang yang memakai lebih dari keduanya adalah lebih baik dan lebih menutupi.” Hal ini diperkuat oleh hadits dari Ummu salamah ketika bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wanita muslimah boleh mengerjakan shalat dengan baju kurung dan kerudung? Nabi menjawab, Boleh, asal baju kurung itu sempurna dan menutupi bagian punggung dan kedua kaki” (HR. Abu Daud).

BACA JUGA :
Demikian juga yang diriwayatkan dari Aisyah. Maimunah dan Ummu Salamah, yang kesemuanya adalah istri Nabi saw, bahwa mereka (Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah) memperlihatkan shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung. (Dikisahkan oleh Ibnu Munzir).

Karena itu, bila memakai baju kurung dan kerudung pun sudah dianggap cukup, maka mukena  hanya merupakan satu varian dari sekian banyak ragam penutup aurat wanita muslimah ketika shalat. Tak heran bila di banyak tempat (selain Indonesia  khususnya), wanita muslimah melaksanakan shalat dengan atribut yang beragam, bisa berbentuk mukena, baju kurung dan kerudung (jilbab), atau yang lainnya.

Pandangan di atas juga bisa dijadikan pegangan bagi wanita muslimah yang kerap melakukan safar (perjalanan jauh) namun tidak sempat membawa mukena, jilbab dan mukena, ditambah kaos kaki guna menutupi kakinya, bisa dipakai untuk shalat dimana pun mereka berada. Namun demikian, banyak juga yang beranggapan bahwa mukena sebenarnya gabungan dari baju kurung dengan jilbab (kerudung).

Akan tetapi, apapun bentuk pakaian shalat wanita muslimah harus tetap mengindahkan etika dan hukum yang ditetapkan, yakni selain harus menutupi aurat secara pasti, juga tidak diperkenankan tipis dan menerawang  sehingga warna kulit wanita muslimah yang shalat tampak terlihat.

Wajah dan Telapak Tangan

Selain pakaian shalatnya, wanita muslimah pun harus mengetahui bahwa area wajahnya harus dibuka ketika shalat. Akan hal ini, tidak ada  perbedaan pendapat di kalangan para ulama, akan tetapi, ihwal kedua telapak tangan yang biasa diperlihatkan, ada dua pandangan : pertama, dibolehkan membukanya, sebagaimana pandangan Imam Malik dan Imam Syafi’i yang didasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas dan Aisyah mengenai maksud dari firman Allah. “Hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasananya kecuali yang boleh tampak darinya.” Dalam hal ini, wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat ini juga didukung Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah-Nya.

Adapula yang melarang menutup telapak tangan dengan sarung tangan, sebagaimana larangan untuk menutup wajah dengan cadar. Namun demikian, kadang menutup telapak tangan dan wajah itu dibutuhkan pada saat melakukan transaksi jual-beli (dengan lawan jenis). Kedua, telapak tangan dan wajah dianggap aurat berdasarkan sabda Nabi saw, ‘wanita itu adalah aurat”, karenanya harus ditutupi.

Cadar

Ibnu Abdil Barr memakruhkan wanjta muslimah mengenakan cadar pada saat melaksanakan shalat. Para ulama telah sepakat, bahwa wanita muslimah harus membuka  penutup wajahnya di dalam shalat dan pada saat berihram. Karena menutup  wajah akan menghalangi persentuhan dahi dan hidung dengan tempat sujud secara langsung. Selain itu, juga akan menutupi mulut. Sebaliknya, apabila wanita muslimah mengerjakan shalat, sedang kepalanya dalam keadaan terbuka, maka shalat  menjadi batal dan ia harus mengulangi lagi. Karena, hukum pokoknya kepala adalah aurat yang harus ditutupi.

Satu, Dua atau Lebih ?

Dalam hadits Salamah bin Akwa’ disebutkan bahwa boleh shalat hanya dengan memakai sehelai pakaian. Dari Abu Hurairah, “Rasulullah pernah ditanya tentang shalat yang hanya memakai sehelai pakaian. Ia lalu menjawab, apakah masing-masing kamu mempunyai dua jenis pakaian?” (HR. Muslim, Malik dan lainnya).

Namun akan lebih baik (bernilai sunnah) bila saat shalat dengan memakai dua lapis pakaian atau lebih. Di samping itu, hendaklah seseorang menghiasi dirinya sedapat mungkin. Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda. “Jika salah seorang diantara kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah dia mengenakan dua lapis pakaian, karena berhias diri lebih layak dilakukan ketika berhadapan dengan Allah! Jika ia tidak mempunyai dua lembar pakaian, hendaklah ia memakai sarung bila hendak mengerjakan shalat, janganlah kamu membelitkan pakaianmu ke tubuhmu pada saat mengerjakan shalat sebagaimana halnya orang-orang Yahudi.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Abdurrazzaq meriwayatkan bahwa Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud berselisih pendapat. Kata  Ubay, “shalat dengan memakai satu macam pakaian tidaklah makruh.” Sedang Ibnu Mas’ud berpendapat, “Itu hanya berlaku pada saat pakaian masih sedikit.” Lalu Umar naik ke atas  mimbar  dan berkata, “Yang benar adalah apa yang dikatakan Ubay, tetapi janganlah Ibnu Mas’ud  berputus asa/harapan jika Allah melapangkan reziki.” Dalam keadaan seperti ini tentunya mereka boleh bersolek dan memakai pakaian yang mewah. Masing- masing laki-laki akan menghimpun pakaiannya hingga ada yang memakai kemeja, sarung dengan jaket, celana kulit dengan jaket, celana kulit  dengan kemeja, kalau aku tidak salah, katanya lagi, celana kulit  dengan baju.” (HR. Bukhari menyantumkan tanpa menyebutkan hadits ini tanpa bab).

Sedang menurut riwayat Buraidah ra, “Nabi saw melarang seseorang yang hanya memakai selembar kain dalam shalat sehingga ia  tidak dapat bergerak secara leluasa. Ia juga melarang seseorang shalat dengan memakai celana tanpa baju.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi).

Jika tata cara berpakaian saat shalat telah kita ketahui dengan benar, ada baiknya mushalli pun  mengikuti cara yang dilakukan cucu Rasulullah. Hasan bin Ali. Setiap kali hendak shalat, ia memakai pakaiannya yang terbaik. Namun hal ini  mengundang tanya orang-orang, mengapa ia berlaku demikian? “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai segala yang indah. Oleh karena itu, aku memperindah diriku pada saat ingin menghadap Tuhan-Ku”. Demikian  jawab Hasan. Dalam firman-Nya, Allah pun telah mengingatkan, “Ambillah perhiasanmu pada setiap hendak mengerjakan shalat.”  

Sumber : Fikih Nisa Seputar Problematika Ibadah Kaum Wanita
Labels: Ibadah Kaum Wanita

Thanks for reading Tak Selalu Harus Mengenakan Mukena Saat Shalat. Please share...!

0 Comment for "Tak Selalu Harus Mengenakan Mukena Saat Shalat"

Back To Top