Membahas Tentang Seputar Ilmu Agama Islam

Hari Raya Tepat Di Hari Jumat, Bolehkah Tidak Jum’atan ?

Sajadah Muslim ~ Kita tentu pernah mengalami hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, yang bertepatan di hari Jum'at. Kita juga mendengar simpang siur bahwa bila sudah menjalankan shalat Id, kita boleh tidak menjalankan shalat Jum'at. Padahal yang kita tahu, shalat Jum'at  adalah hukumnya wajib. Tentu maksudnya adalah laki-laki muslim yang memang diwajibkan menjalankan shalat Jum'at. Simpang siur ini terus terjadi dari tahun ke tahun. Perdebatan akan lebih terasa apabila momentum Lebaran memang pas dengan hari Jum'at. Hingga sekarang pun demikian hingga membuat sebagian masyarakat bingung.


Fokus permasalahannya terletak pada benarkah ada dispensasi untuk tidak menjalankan shalat Jumat bila kita sudah mengerjakan shalat Id? Atau haruskah tetap menjalankan shalat Jum'at  meskipun sudah mengerjakan/melaksanakan shalat Id? Atau bisakah shalat Id (yang sunnah menurut Imam Syafi'i dan Malik) menalahkan yang wajib (shlat Jum'at)? Tulisan ini coba mengurai kesimpang siuran yang membuat bingung banyak orang. Harapannya, kita nantinya bisa menyikapi secara bijak ketika menghadapi, kenyataan semacam itu.

Munculnya Polemik

Polemik soal yang satu ini bukannya tanpa dasar. Memang ditemukan begitu banyak riwayat yang dijadikan dasar sehingga kemudian mengemukakan pendapat bahwa boleh tidak Jum'atan bila sudah menjalankan shalat Id di pagi harinya. Akan tetapi dispensasi tersebut tidak lantas menggugurkan kewajibannya sebagai muslim yang harus menjalankan shalat Zuhur melainkan ia tetap harus shalat zuhur seperti biasa, sebagaimana yang dilakukan pada hari-hari biasa selain Jum'at.

Simak beberapa hadits Nabi saw, dan keterangan sahabat yang menyebutkan adanya dispensasi tersebut. Diantaranya hadits Zaid bin Arqam ra, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan pernah bertanya kepadanya, ”Apakah Anda pernah mengikuti hari raya yang bertepatan dengan hari Jum'at di zaman Nabi saw?” Lalu apa yang beliau lakukan?” Jawab Zaid. “Beliau shalat Id, dan memberi keringanan untuk tidak shalat Jum'at. Beliau berpesan, “Siapa yang ingin shalat Jum'at, hendaknya dia shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i ibn Majah, ad- Darimi)

Begitupun hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda; “Pada hari terkumpul dua hari raya (Jum'at dan Id) Siapa yang ingin shalat hari raya boleh baginya untuk tidak Jum'atan. Namun kami tetap melaksanakan Jum'atan.” (HR. Abu Daud Ibn Majah Ibnul Jarud Baihaqi dan Hakim)

Hadits  lain yang menguatkan lagi adalah dari Ibnu Umar ra, beliau menceritakan “Pernah  terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah saw. Kemudian beliau mengimami shalat Id, dan berkhutbah, “Siapa yang ingin Jum'atan , silahkan datang Jum'atan. Siapa yang ingin tidak hadir Jum'atan, boleh tidak hadir.” (HR. Ibn Majah).

Dan masih ada beberapa hadits serupa yang menyatakan adanya dispensasi untuk tidak Jum'atan apabila sudah shalat Id. Karena itu, berdasar riwayat-riwayat tadi, para ulama mengatakan bahwa orang yang telah menghadiri shalat Id, mendapat keringanan untuk tidak Jum'atan. Dan dia wajib shalat zuhur setelah masuk waktu zuhur bila pagi harinya sudah menjalankan shalat Id. Akan tetapi jika tidak menggunakan keringanan tersebut (artinya ikut shalat Jum'at), maka itu jauh lebih baik.

Rukhshah atau Tidak ?

Pada dasarnya hukum shalat Jum'at itu wajib, sedang shalat hari raya adalah hukumnya Sunnah dan masing-masing tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah prinsip pokoknya. Akan tetapi mengingat ada beberapa hadits dan amalan para sahabat tentang hari raya Id yang bersamaan dengan hari Jum'at adalah shahih, setidaknya melalui hadits Zaid bin Arqam (yang dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah) dan hadits Abu Hurairah (dinilai shahih oleh ad-Daruquthni), maka oleh para ulama, keberadaan hadits shahih tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian) hukum asal shalat Jum'at hingga yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Karena itu, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah takhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jum'at itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari aya, dan status shalat Jum'at menjadi tidak wajib. Imam ash-Shan'ani di dalam kitab Subulus Salam juga menjelaskan mengenai hadits Zaid bin Arqam. Jika hadits tersebut bernilai shahih, maka otomatis hadits tersebut bisa menjadi takhsis, artinya, hadits Zaid bin Arqam yang dimentahkan oleh Imam Syafi'i, menurut ash-Shan'ani, bisa digunakan sebagain dalil syar'i.

Sedang pendapat kedua, orang yang melaksanakan shalat Id tetap wajib melaksanakan shalat Jum'at. Menurut kelompok ini, alasan shalat Jum'at tidak bisa digantikan oleh shalat Id, karena al-Qur'an menyebut secara umum, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum'at , maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu'ah ayat 9).

Ini dikuatkan dalam hadits, Nabi Saw berkata “Barang siapa meninggalkan tiga shalat Jum'at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.” Juga hadits lain menyebutkan “Shalat Jum'at merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim dengan berjama'ah kecuali empat golongan budak, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.”

Mereka berpandangan bahwa shalat Jum'at hukumnya wajib sehingga tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan dalil yang shahih. Sementara sejumlah riwayat yang membolehkan untuk meninggalkannya ketika berkumpul dengan hari raya menurut pendapat kedua, tidak bisa dijadikan dalil. Ini karena riwayatnya dipandang kurang kuat. Di dalam Mazhab Syafi'i, ketika hari raya jatuh pada hari Jum'at, maka ia tetap tidak menggugurkan shalat Jum'at. Kecuali memang bagi penduduk yang tinggal di pelosok (tempat yang jauh)  yang telah melakukan shalat Id. Masyarakat dahulu yang tinggal dipedalaman atau penduduk kampung yang jauh, mereka akan letih bila harus bolak-balik ke masjid dan bisa terlambat shalat Jum'at. Menurut Imam Syafi'i hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jum'at pada hari raya  bukanlah hadits shahih, termasuk di dalamnya hadits Zaid bin Arqam. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya.

Jadi, sekarang sudah terjawab kenapa shalat Idul Fitri yang persis  jatuh  di hari Jum'at itu bisa menjadi rukhshah. Masalahnya bersumber dari dalil yang oleh sebagian ulama dikategorikan tidak. Atas  semua penjelasan di atas, bisa disimpulkan kemudian bahwa: 

Pertama, bila Lebaran jatuh di hari Jum'at, maka ada dispensasi untuk tidak shalat Jum'at. Dispensasi ini berlaku bagi orang yang sudah menjalankan shalat Id, di pagi hari. Bagi orang yang mengambil rukhshah tersebut, ia tetap harus shalat zuhur. Ini menurut pendapat yang membolehkan rukhshah.

Kedua, Orang yang sudah menunaikan shalat Id, tetap disunnahkan melaksanakan shalat Jum'at. Dan itu  lebih utama.

Ketiga, Orang yang tidak melaksanakan shalat Id, dipagi hari, wajib baginya untuk menunaikan shalat Jum'at, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkannya shalat Jum'at. Sebab dispensasi hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shalat Id.

Keempat, Shalat Jum'at tetap wajib dilaksanakan kendatipun sesudah menjalankan shalat Id, kecuali ada udzur syar'i . Ini pendapat Imam Syafi'i Wallahu a'lam. …....!!!!!!

Sumber : Majalah Hidayah
Labels: Pendidikan Islam, Shalat

Thanks for reading Hari Raya Tepat Di Hari Jumat, Bolehkah Tidak Jum’atan ?. Please share...!

0 Comment for "Hari Raya Tepat Di Hari Jumat, Bolehkah Tidak Jum’atan ?"

Back To Top